"Deb, dapet salam dari Rizky."
Debby mendengus. "Iya," jawabnya malas.
"Salam balik, nggak?"
"Kamu aja, deh."
"Aku?" Vita mengangkat
alis. "Yang dapet kan kamu?"
"Males, ah."
Vita menatapnya sejenak kemudian menarik kursi ke
depan Debby.
"Kayaknya dia marah, lho. Kamu sih, tiap hari dikirimin salam
nggak pernah dibales.
Bales, dong. Sekali-sekali, gitu."
"Entar dikiranya aku naksir, lagi."
"Soalnya begini, Deb," Vita memelankan suaranya, tubuhnya beringsut maju sampai menempel di meja. "Kemarin dia cegat aku, dikiranya aku nggak pernah sampaikan
salam-salamnya itu ke
kamu. Aku sampai sumpah kalo nggak pernah lupa. Dia kayaknya marah. Terus dia bilang begini; 'Vit, bilang ya, sama Debby. Suatu saat nanti aku pasti bisa menangkapnya tanpa dia
bisa menghindar, apalagi lari dariku'. Begitu."
"Begitu?!" seru Debby dengan tubuh serentak bangkit. "Menangkap? Ayam kali! Sembarangan
aja ngomong!"
Vita tertawa geli.
"Pokoknya aku sudah sampaikan ya, ke
kamu. Hati-hati, lho. Lagipula, kenapa sih
nggak mau?"
"Masa kamu nggak denger storinya? Waktu sekolah kita ngadain kemping bersama bulan kemaren itu, aku kan pingsan. Abis jalannya jauh banget. Mana hujan lagi, becek lagi, terus
dingin lagi. Waktu sadar, aku
sudah ada di pelukannya. Kamu tau
kata pertama yang kudengar begitu membuka mata? 'Debby
ternyata kamu lumayan seksi juga'."
"Hah?!" Vita terbelalak.
"Iya. Apa itu nggak
kurang ajar?"
"Kalian cuma berdua?"
"Enggaklah. Yang pingsan kan bukan cuma aku."
"Berarti...."
"Jangan mikir
macam-macam!" potong
Debby
galak. Vita langsung menutup mulutnya.
Keesokan
harinya,
begitu
menginjakkan kaki
di
sekolah,
dengan emosi
Debby
langsung
berkeliling mencari Rizky.
"Hai!" Cowok
itu menyambutnya surprais.
"Kamu ngomong apa ke
Vita?" Debby berkacak
pinggang dan menatapnya tajam.
"Apa? Oh, itu?" Rizky tertawa lebar. "Ternyata pemberitahuan malah ampuh, ya. Satu pun
salamku nggak ada yang kamu balas. Tapi ternyata pemberitahuanku malah bisa
membawamu ke
depanku."
"Kamu ngancam?"
"Bukan. Aku kan sudah bilang itu pemberitahuan. Suatu saat kau akan jadi pacarku, Deb," Rizky menjawab tenang. Debby ternganga.
"Jangan sok yakin!" semburnya. "Kita liat aja."
***
Entah karena sugesti atau juga karena salamnya yang terhenti, kalimat Rizky menghantui pikiran Debby. Mata itu tajam menembusnya
waktu mengucapkan ancaman itu.
"Menurutmu apa yang akan dilakukannya?" Debby berjalan hilir mudik di depan Vita. "Atau, apa dia sungguh-sungguh?"
"Iya."
Vita mengangguk, membuat Debby jadi tambah patah
semangat.
"Dengan bilang ke
orang-orang peristiwa waktu aku pingsan itu?"
"Bukan. Dia bukan model cowok begitu. Dia gentle. Dan aku yakin caranya pun, ya cara cowok
jantanlah. Tapi yang jelas dia
nggak akan bikin malu kamu."
Aduh, Tuhan, syukur! Debby menghela napas lega. "Kira-kira apa
yang
mau
dia bikin, ya?"
"Dia
menjemputmu tiap pagi?"
"Nggak."
"Terang-terangan merhatiin kamu dengan mata tajamnya
itu?"
"Nggak
juga," Debby menggeleng. Vita mengerut
kening dan mencubiti bibirnya. "Maksa
ngantar kamu pulang?"
"Aku malah nggak pernah ngeliat dia tiap bel pulang berbunyi. Pasti dia langsung sibuk dengan
klub basketnya."
"Jadi dengan apa, dong?"
Vita ikutan bingung.
"Jalan halus!"
Debby kaget sendiri dengan dugaannya. "Pelet?!
Guna-guna?! Masa, sih? Jangan ngaco, ah!"
"Terus apa, dong? Sekarang coba kamu pikir...."
Debby meloncat ke tempat tidur. Mukanya tegang,
"tiap ketemu, dia selalu
biasa-biasa aja. Tetap ramah, tetap
baik, nggak usil, nggak jail. Pokoknya semua berjalan seperti biasa.
Wajar, tenang, aman. Terus apa?"
"Menunggu marahmu hilang mungkin?"
"Nggak
mungkin!" desah Debby
sambil kembali mondar-mandir.
***
Debby bingung memikirkan kemungkinan tindakan yang akan diambil Rizky.
Dia
sudah tanya beberapa orang, begitu siuman dari
pingsan itu. Jawabannya, tidak
ada hal kurang ajar yang
dilakukan. Cowok itu memang yang menggendongnya sepanjang jalan.
Yang membungkus
tubuhnya dengan tiga lapis jaket tebal. Yang menungguinya sampai sadar. Cuma...
waktu
siuman, membuka
mata dan hanya menjumpai Rizky seorang, ditambah kalimat kurang ajar
itu, apa iya....
Dan itu membuatnya jadi kesal
terhadap Rizky,
sampai sekarang. Pasti
ada sesuatu yang sudah dilakukannya. Karena tiap kali
mereka bertemu, sepasang mata
itu selalu merangkumnya
hangat. Ditambah senyumnya yang rasanya mengundang suatu makna
tersembunyi.
"Deb!" Sebuah tepukan di bahu membuat
Debby
terlonjak dan seketika sadar dari lamunan.
"Kamu! Pelan-pelan, dong! Aku kaget, tau!" sungutnya
sambil menepuk-nepuk dada.
"Sori, deh. Katanya suruh riset?" Dengan tenang Vita duduk di depannya. Tak merasa bersalah
sudah membuat Debby nyaris semaput. "Aku sampai ditanyain macem-macem gara-gara idemu itu."
"Gimana? Gimana?" Debby
bergegas menggeser kursinya.
"Menurut beberapa orang yang kena pelet, tanda-tandanya begini...."
Vita diam sejenak, menoleh kiri-kanan untuk memastikan
keadaan cukup aman untuk pembicaraan mereka. "Di kamarmu nanti akan tercium wangi parfumnya Rizky atau bahkan bau
badannya selama seminggu penuh."
"Idiiih!"
Debby terngaga.
"Ke mana pun
kamu pergi, kamu
akan ngeliat wajahnya,
walaupun setelah didekati ternyata
bukan. Dan ini yang paling, Deb.
Raba hatimu. Biasanya ada perubahan drastis.
Kamu
jadi mikirin dia. Jadi
gelisah kalau nggak ngeliat dia sebentaaaarr aja.
Malah keadaan jadi berbalik. Kamu yang
akan ngejar-ngejar dia!"
Debby tercengang.
"Jalannya
gimana? Masa tiba-tiba begitu?"
"Cukup sedikit sentuhan. Misalnya
dia negur kamu. Dicolek sedikit, meskipun cuma seujung
jari, itu bisa membuatmu tergila-gila sama dia. Banyak jalan, sih. Namanya juga ilmu begitu. Tapi
aku nggak mau tanya banyak-banyak. Soalnya semua yang kutanya, mengira aku lagi mau
melet seseorang."
"Selalu begitu tanda-tandanya?"
"Aku kan cuma tanya tiga orang. Aku rasa sih, tanda-tandanya pasti juga banyak macamnya
karena jalannya juga macam-macam."
Debby mengempaskan punggungnya ke
sandaran kursi dan menarik napas panjang.
***
Debby terbangun tergeragap. Wangi bunga melati menyentak hidungnya. Jantungnya seketika berderas keras. Pasti ini kiriman dari Rizky! Bergegas ditekannya saklar
lampu.
Sebuah mangkuk mungil penuh
berisi bunga melati segar terletak di mejanya.
Diambilnya mangkuk itu dan
diperhatikannya isinya. Masih segar, seperti baru dipetik.
Dibawanya
mangkuk itu keluar.
Detti,
kakaknya, sedang menonton TV
sambil memegang sebuah mangkuk juga, penuh berisi bunga melati segar.
"Ini kerjaanmu, ya?"
"Nggak
bisa tidur,"
jawab Detti tanpa
menoleh. "Baunya enak, kan?" "Kupikir ada hantu," Debby menggerutu membuat
Detti terkekeh.
Bikin kaget aja! Dia melangkah kembali ke kamar. Sampai
sempat ketakutan tadi. Ditaruhnya kembali mangkuk itu ke tempatnya. Tapi dia jadi
tak
bisa melanjutkan tidur. Kantuknya lenyap karena terbangun kaget
tadi.
Iseng dibukanya
album foto
yang
sudah
diseleksi dengan tahapan-tahapan yang amat
sangat ketat, ternyata masih ada juga
foto-foto Rizky yang
lolos. Nggak tanggung-tanggung, tiga! Nggak mungkin dibolongin karena cowok itu ada di tengah, merangkul Saga
dan Farid.
Dikeluarkannya ketiga foto
itu
dan dibariskannya di atas kasur. Lalu sambil tengkurap dan
memeluk bantal, dipandangnya satu per satu. Wajah Rizky terekam jelas di salah satunya. Alisnya bagus.
Tebal, hitam dan bersambung. Matanya kadang tajam, kadang juga teduh.
Rahangnya kokoh. Debby tersenyum sendiri, tenggelam dalam
khayal.
Ganteng juga, desisnya. Astaga! Dia langsung tersadar. Serentak
bangun sambil menutup
bibirnya yang
ternganga. Apa yang barusan diucapkannya? Dia bilang
cowok ini ganteng!
Ganteng?! Ya, ampun!
Aku kena pelet! Debby terduduk mematung.
Ah, nggak
mungkin!
Nggak mungkin! Dia
menggelengkan kepala berkali-kali. Coba diliat lagi. Pasti tadi nggak sadar ngomong begitu. Sekali lagi diperhatikannya
ketiga foto itu. Dan gadis itu
makin tercengang ketika pandangannya ternyata tidak berubah.
Bener, aku kena pelet, desahnya panik. Dulu-dulu Rizky menurutnya biasa-biasa aja. Norak malah,
dengan sifat agresifnya
yang
nggak
tau malu
itu. Kenapa sekarang
tiba-tiba jadi ganteng, ya? Debby menatap
foto itu sambil menelan ludah.
***
"Tiba-tiba aja di mataku dia jadi ganteng! Keren. Aku pikir karena baru bangun tidur, masih
setengah ngimpi, jadi keliatan macho. Tapi tadi pagi waktu mau berangkat, aku liat lagi
fotonya. Kok masih juga keliatan
ganteng itu anak, ya?" Debby melapor dengan
perasaan resah. Vita terbahak-bahak mendengarnnya.
"Semua orang bilang dia emang cakep, kok. Kamu aja yang matanya
cureng."
Debby
melotot.
"Dia kurang ajar, tau nggak? Makanya sekali-sekali
kamu pingsan deh, deket dia. Begitu melek, tau-tau
sudah dipeluk, dibilang seksi lagi," sungutnya, membuat Vita tambah
tertawa-tawa. Peristiwa pingsan itu memang sangat
membekas dan dia selalu dongkol tiap kali teringat. "Aku pasti udah kena pelet," keluhnya memelas. "Tiba-tiba aja aku sering mikirin dia. Pernah titip
salam lagi, nggak?"
"Ngapain? Udah banyak
yang
mubazir." "Marah ya, dia?"
"Jelaslah. Cecil aja patah hatinya sampai begitu. Cinta nggak kesampaian. Belum si Retno yang
rajin cari perhatian. Kamu yang ditaksir malah kabur-kaburan. Kalo dia marah, terus kamu dipelet, ya bisa jadi. Kamu kadang keterlaluan, sih!"
Debby terdiam. Perlahan dia menjatuhkan diri ke kursi di samping Vita. Mungkin
apa yang dikatakannya
itu benar.
Jam istirahat tiba-tiba Rizky muncul di kelas, membuat
Debby
kaget setengah mati. Setelah
hampir dua bulan salamnya terhenti dan perjumpaan mereka yang bisa dihitung dengan jari,
Debby langsung menduga yang bukan-bukan. Tapi ternyata, tanpa menoleh Rizky langsung
menghampiri Iwan, yang memang salah satu anggota tim basket
sekolah. Mereka berbicara dengan suara pelan dan selama itu pula mata Debby tak berhenti memandangnya. Was-was.
Pembicaraan selesai.
Rizky berjalan keluar. Ketika melewati Debby, kedua matanya memandang tajam
namun disertai senyum.
"Halo, Seksi,"
ucapnya pelan disertai jentikan jari dan kedipan mata. Debby kontan terkesima.
Mematung menatap
Rizky sampai hilang di balik
pintu.
"Vita!
Kamu denger, nggak?!"
Dengan
panik diguncang-guncangkannya
lengan Vita yang sedang
serius berat menyalin pe-er.
"Ada apa,
sih?" Vita menoleh kesal.
"Rizky...," lapor Debby terengah. "Dia negur aku barusan. Dan
dia masih manggil aku 'Seksi'. Terus tadi dia ngeliatin aku sambil menjetikkan
jari. Vit, pasti tadi itu pelet. Iya,
kan? Bisa pakai jalan
begitu, kan?"
"Mana Rizky?" Vita celingukan.
"Barusan dia
ke sini. Ngomong sama Iwan. Kamu ini nyontek
melulu, sih...."
"Terus kamu diapain? Cuma diliatin? Itu kan wajar."
"Oh, iya? Wah, bisa jadi. Mungkin bukan pelet,
tapi hipnotis."
"Yaaah, terus gimana, dong?" Debby semakin panik. "Kamu bilangin dia deh, Vit. Suruh pergi
jauh-jauh!"
Aduh, ngerepotin
aja! Vita menggerutu.
"Aku bilang ke dia, tapi kamu selesaikan pe-erku. Gimana? Inggris sama Kimia, lho."
"Kecil! Mana bukumu?"
"Nah, gitu dong. Jangan nyuruh orang
kerja gratisan melulu."
Vita mengulurkan dua buah buku, lalu
berjalan keluar. Dasar phobia Rizky, gerutunya. Lima belas menit kemudian dia
kembali.
"Apa katanya?" sambut Debby was-was.
"Dia bilang dia nggak akan ganggu kamu. Apalagi pakai pelet. Dosa, katanya. Dia juga bilang, nanti kamu sendiri yang akan
datang ke dia."
"Hah?!"
***
"Eh, gimana?" Rizky bertanya tanpa menoleh pada seseorang yang barusan menepuk bahunya,
lalu berdiri di sampingnya.
"Beres. Tapi sepi banget
di sana."
"Jelas aja. Musim ulangan."
"Yakin bakalan dia yang nemuin?"
"Yakin!"
Rizky tersenyum tipis
tanpa mengalihkan matanya dari sosok Debby di kejauhan. Kail sudah
dilemparkan!
***
Pada awalnya, Debby sempat stres dan ketakutan. Tapi perlahan... perasaan itu menghilang karena ternyata Rizky tidak melakukan apa pun seperti yang sempat dia
bayangkan.
Cowok itu
malah menjaga jarak. Tidak
memberikan senyum,
apalagi menyapa pada saat mereka terpaksa berpapasan atau berada
bersamaan di suatu tempat.
Debby mulai tenang dan hari-harinya kembali normal. Dia bahkan mulai berani lalu-lalang dengan tenang di depan Rizky. Tak menyadari
sepasang mata cowok itu menatapnya dengan kilatan yang mengandung suatu rencana tersembunyi.
"Kamu, sih. Rizky itu baik. Kamunya aja yang pikirannya terlalu." "Jaga-jaga boleh, dong?"
"Iya, tapi aku yang jadi malu. Dia...."
"Alaaaah, udah, deh. Sori. Namanya aja orang lagi panik." Debby meringis. "Eh, aku nemu
undangan, di Sekretariat OSIS."
"Adrianto, SE
dengan Astuti K. Siapa?"
"Mana aku tau. Aku temuin menggeletak di ruang OSIS. Comot aja. Kita bakalan makan enak
dan gratis."
"Undangannya keren bener."
Vita membalik-balik benda di tangannya. "Kita juga mesti dandan keren, dong?"
"Sekali-sekalilah."
***
Sabtu sore, keduanya yang memang hobi gerilya cari makanan gratis,
sudah rapi jali sejak
pukul setengah tujuh.
"Seksi amat?" Vita terbelalak memandang penampilan Debby. "Pingin aja."
Debby meringis lucu. "Nggak ada yang kenal ini." Acara baru saja dimulai ketika keduanya tiba.
"Salaman dulu, nggak?"
tanya Vita dan langsung disambut cibiran bibir.
"Sok sopan!"
Vita terkekeh dan mengikuti Debby
menuju stand-stand
makanan. "Kambing
guling!" pekik Debby tertahan. "Ini dia!"
"Asyiiik!"
Vita menyambut senang. Detik berikutnya kedua gadis itu benar-benar tenggelam
dalam kesibukan berburu makanan gratis.
Tengah
asyik-asyiknya mereka menikmati
hidangan, tiga orang
cowok
berbusana Jawa mendekati
mereka.
"Halo, teman Mbak As atau Mas Adri?"
salah satu bertanya. Keduanya langsung gelagapan. Dan itu
membuat cowok-cowok itu jadi curiga.
"Ada
tamu nggak diundang."
Dia memandang
teman di sebelahnya.
"Kata siapa
nggak diundang? Sembarangan!" Debby langsung menukas. "Undangannya
di
rumah karena nggak
harus dibawa, kan? Kami teman Astuti!" jawabnya nekat.
"Begitu?"
Cowok itu tersenyum. "Kalian belum kasih selamat, kan?"
Langsung diraihnya pergelangan tangan Debby dan
menggenggamnya.
Seorang temannya mengikuti,
meraih
tangan Vita. Tanpa daya,
keduanya pasrah
digiring ke pelataran berkarpet merah dadu itu. Dan Debby nyaris saja pingsan begitu melihat pasangan mempelai
itu. Keduanya ternyata sudah
cukup berumur. Entah karena telah kawin, atau mungkin ini bukan lagi perkawinan mereka yang pertama.
"Rizky?"
Debby tertegun ketika mengenali cowok yang berdiri
tak jauh dari
mempelai wanita, yang rupanya juga
kaget melihatnya. "Ky, dia bilang aku nggak diundang."
Dipelototinya
cowok berbaju Jawa
itu tajam-tajam
sambil berjalan menghampiri Rizky dan
memeluk lengannya.
"Oh, pacarmu, Ky? Bilang-bilang,
dong! Aku pikir
penyelundup." Cowok itu
mengangkat kedua
tangannya dan tersenyum
meminta maaf. "Pacarnya Rizky!"
teriaknya sambil turun.
Debby tersadar
dan seketika menoleh.
"Terlambat!" bisik Rizky demi melihat keterkejutan itu.
Debby berbalik dan
memucat ketika mendapati dirinya sendirian. Vita menghilang entah ke mana, begitu juga
dengan cowok-cowok
berbusana Jawa tadi.
Disibaknya uraian
rambutnya dengan panik. Tidak mungkin berlari turun dari
panggung, akan mengundang pertanyaan.
Sekian puluh mata, bahkan
mungkin lebih dari seratus, kini tengah
memandangnya.
Dibaliknya badan. Rizky tengah menunggu dan memandangnya dengan sorot mata yang tak
bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Ayo, salami
mereka."
Diraihnya
tangan Debby
dan menggenggam
lembut
jari-jarinya. "Tanteku."
"Eh, se... selamat,"
gugup Debby mengulurkan tangannya.
Tiba-tiba berkumandanglah sebuah pengumuman yang mahadahsyat.
"Para hadirin yang terhormat,"
ucap MC ayu berkebaya merah jambu itu lengkap dengan senyum manisnya.
"Pada saat ini, berdiri
di sisi kiri mempelai adalah
salah seorang keponakan dari
mempelai wanita. Kiranya para hadirin yang terhormat sudi memberikan
selamat, karena
keduanya
akan
segera menyusul ke pelaminan dalam
waktu dekat."
Debby terhenyak.
Suara tepuk
tangan
bergemuruh dan berebutlah 'para hadirin yang terhormat' itu naik panggung dan menyalami mereka.
"Terima kasih... terima kasih...."
Rizky menyahut ramah sambil mati-matian menahan tawa.
Lengan kirinya menyangga tubuh Debby
yang sudah setengah sadar.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar